Nagabonar |
Nagabonar merupakan film komedi satir yang dirilis tahun 1987. Ceritanya tentang seseorang yang bernama Nagabonar yang mengangkat diri sendiri menjadi jendral padahal ironisnya dia adalah mantan pencopet. Ceritanya bertempat di Sumatra Utara dekat kota Medan ketika perang kemerdekaan tahun 1942 berlangsung. Segera setelah Jepang dikalahkan, tentara Belanda berusaha merebut kembali bekas koloninya dan melancarkan gelombang operasi militer yang baru. Operasi militer ini dilawan dengan perang gerilya oleh Indonesia. |
Selama masa kacau ini, Nagabonar, seorang penjahat kambuhan yang baru saja dibebaskan dari penjara berpikir untuk menipu jajaran militer dengan mengangkat diri sebagai seorang jendral. Niat awalnya sebagai petualangan untuk memuaskan diri sendiri dan untuk meraih keuntungan dengan menawarkan jasa keamanan bersama teman-temannya. Memimpin kelompok yang terdiri dari penjahat kambuhan lainnya dan beberapa pengikut, Naga segera menemukan kenyataan perang dan bahwa menjadi seorang jendral jauh dari yang dia bayangkan. Perang gerilya membentuk kepemimpinan Naga. Dia menjadi pemimpin yang ditakuti musuh dan dinantikan oleh banyak penduduk desa. |
Bagian komedi film ini berpusat pada karakter Naga yang penuh teka-teki. Dia seorang pemimpin yang berani tapi masih takut dimarahi oleh ibunya. Dia seorang jendral pemalu yang masih meminta pertolongan ibunya untuk mendekati seorang gadis. Taktiknya yang penuh teka-teki dan diplomasi ala jalanannya membingungkan musuh. Dan ketika harus memperebutkan gadis impiannya dengan Mirriam, seorang penjahat yang juga menjadi jendral palsu, Naga memecahkan masalahnya dengan permainan catur di mana dia menggunakan kemampuan andalannya sebagai mantan pencopet yaitu dengan mencopet mentri lawan. |
Sejak dirilis tahun 1987, film ini menjadi sangat populer dan memenangi penghargaan Piala Citra sebagai film terbaik. Pada masanya film ini mempopulerkan dialek Sumatra Utara dari Medan, yang serupa dengan bahasa Indonesia tapi diucapkan dengan tekanan tertentu yang kadang mengundang tawa. Walaupun fiksi, banyak orang yang memandang film ini sebagai kritik tersembunyi terhadap suasana Indonesia diakhir 80an di mana pahlawan dipandang sebagai barang langka. Ironisnya 40 tahun sebelumnya bahkan seorang pencopet dapat menjadi seorang pahlawan yang dielu-elukan. |
Comments
Hide